Senin, 08 April 2013

Status Perkembangan Budidaya Laut Indonesia


Melihat Lebih Dekat Pengembangan Budidaya Laut Indonesia,..


“Budidaya Laut (mariculture) sebagai alternatif usaha prosepektif keberadaannya menjadi sangat dibutuhkan untuk  terus didorong melalui pengembangan kawasan budidaya berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir. Fenomena pasang surut pengembangan budidaya laut termasuk peluang dan tantangan di dalamnya sudah seharusnya menjadi fokus perhatian segenap stakeholders dalam menjamin keberlanjutan usaha budidaya”

Demikian kesimpulan dan rekomendasi hasil monitoring dan evaluasi pada kawasan pengembangan budidaya laut yang baru-baru ini dilakukan oleh Tim Monev dari Direktorat Produksi Perikanan Budidaya pada beberapa sentral produksi antara lain di Provinsi NTB (Lombok Tengah, Lombok Timur dan Lombok Barat), Provinsi Kepuluan Riau (Batam dan Bintan), dan Provinsi Jawa Timur (Situbondo).
Pengembangan budidaya laut dinilai masih mempunyai peluang yang sangat besar, terlihat dari total pemanfaatan potensi lahan yang belum sepenuhnya meng-cover luas potensi lahan yang ada. Dengan luas indikatif potensi lahan pengembangan budidaya laut nasional luas 4,58 juta ha sampai dengan tahun 2011 baru dimanfaatkan untuk usaha budidaya sekitar 169.292 ha (3,69%). Dari luas pemanfaatan lahan tersebut, perkembangan produksi pada komoditas unggulan budidaya laut khususnya fin fish mengalami trend yang beragam. Sebagai gambaran pada tahun 2012 capaian angka produksi sementara masing-masing untuk ikan kerapu sebesar 10.200 ton atau turun sebesar 3,6% dari capaian tahun 2011 sebesar 10.580 ton. Sedangkan capaian produksi ikan kakap sebesar 6.100 ton atau meningkat sebesar 16,5% dari tahun 2011 yang hanya mencapai 5.236 ton. Jika dibandingkan dengan target produksi yang diproyeksikan pada Tahun 2012, masing-masing untuk ikan kerapu dengan capaian 92,7% dari target sebesar 11.000 ton dan ikan kakap dengan capaian 95,2% dari target sebesar 5.500 ton

Ikan Kerapu Masih Menjadi Primadona
Saat ini budidaya ikan laut masih didominasi oleh beberapa komoditas yang memang secara teknologi telah mampu dibudidayakan secara massal di masyarakat, dimana ikan kerapu masih menjadi primadona dikalangan pelaku usaha disamping komoditas lainnya antara lain lobster, bawal bintang dan kakap. Ikan kerapu sebagai komoditas unggulan ekspor perikanan budidaya, mempunyai nilai ekonomis tinggi karena harga yang menggiurkan, bayangkan untuk jenis ikan kerapu bebek ditingkat pembudidaya dibandrol dengan harga Rp. 350 ribu per kilogram, sedangkan dtingkat eksportir mencapai Rp. 500 ribu per kilogram. Lain halnya dengan jenis ikan kerapu macan rata-rata ditingkat pembudidaya dibandrol dengan harga Rp. 120 ribu per kilogram. Menurut Manhan Rasuli salah satu pembudidaya kerapu di Teluk Batu Nampar Lombok Timur, budidaya ikan kerapu membutuhkan modal yang besar, sehingga mereka menginisiasi membudidayakan kerapu dengan pola berkelompok. “ Bagi kami budidaya ikan kerapu merupakan investasi atau tabungan penghasilan, karena masa pemeliharaan yang cukup lama, maka kami upayakan untuk melakukan usaha ini secara berkelompok”, terang Manhan. Diakuinya, ikan kerapu bebek masih menjadi primadona dibudidayakan di teluk Batu Nampar, karena selain harganya sangat tinggi, pasarnyapun sudah pasti.

Lain halnya dengan upaya yang dilakukan UD. Bali Minatama salah satu perusahaan budidaya kerapu yang berpusat di Bali, dimana dalam upaya mempercepat pengembangan usaha budidaya kerapu di masyarakat, pihak perusahaan menjalin kerjasama kemitraan dengan menerapkan pola segmentasi usaha. Pola segementasi usaha, menurut Carollus Wibowo pemilik UD. Bali Minatama  adalah dalam rangka efesiensi dan memberikan kesempatan kpd masyarakat binaan mendapatkan nilai tambah pada setiap tingkatan/segmen ukuran ikan kerapu yang dibudidayakan. “Kita tahu usaha budidaya ikan kerapu membutuhkan investasi besar, sehingga masyarakat kecil tidak akan mampu berusaha, dengan kemitraan semacam ini, maka masyarakat akan mendapatkan nilai tambah pada masing-masing tahapan pembudidaya dengan tanpa mengeluarkan modal tinggi. Pola ini juga telah secara nyata mampu mempercepat kapasitas usaha budidaya”, jelas Carollus saat memberikan paparan pada ajang Forum Budidaya Laut di Batam akhir tahun lalu. Ditambahkan Carollus pembudidaya mitra akan mendapatkan penghasilan rutin setiap bulan, dimana nilai income tergantung prestasi. Ikan yang dipelihara akan dihargai Rp. 2 ribu per cm. Sampai Tahun 2012 jumlah unit KJA yang diusahakan melalui pola kemitraan dengan masyarakat telah mencapai 649 unit, dari sebelumnya yang hanya 45 unit yaitu masing-masing tersebar di Sumberkima, Teluk Ekas Lombok Timur dan Sumbawa.

Disisi lain, menurut sumber dari Assosiasi Budidaya Laut Indonesia (Abilindo) dari luas areal budididaya laut yang telah dikembangkan untuk  budidaya ikan kerapu di KJA sekitar 19.690 unit yang tersebar di Kep. Riau dan Natuna, Aceh, Sumatera Utara, Lampung, NTB dan Lainnya. Ditambahkan Wayan Sudja Sekjen Abilindo, sentra-sentra produsen kerapu yang tergabung dalam Abilindo tersebar di wilayah Sumatera Utara dan Aceh, yang diperkirakan mengusahakan budidaya KJA kerapu sebanyak 2.800 jaring; Kepulauan Riau sebanyak 2.000 jaring; Natuna sebanyak 3.000 jaring; Lampung sebanyak 5.741 jaring; Bali dan NTB sebanyak 4.150 jaring; dan lokasi lainnya sebanyak 4.500 jaring.

Usaha budidaya ikan kerapu nampaknnya menunjukan perkembangan yang menggembirakan, ini bisa terlihat pada sentra-sentra produksi benih kerapu yang secara rutin mendapatkan order dengan jumlah yang cukup besar. Ini diperkuat dengan pernyataan Lalu Hamdi Kepala BPBIP Sekotong Lombok Barat, Menurutnya, saat ini instalasinya secara rutin mendapat permintaan benih ikan kerapu bebek ke beberapa daerah khususnya di Provinsi NTB. “Kami coba untuk menggenjot produksi benih ikan kerapu bebek ukuran 5-10 cm untuk mencukupi permintaan benih khususnya di Provinsi NTB yang semakin meningkat akhir-akhir ini”, terang Hamdi optimis.

Sebagai gambaran pada tahun 2011 sentral produksi kerapu masih didominasi oleh 10 (sepuluh) Provinsi penghasil utama, masing-masing Provinsi  Sumatera Utara dengan capaian produksi sebesar 4.404 ton (41,63%); Provinsi Kepulauan Riau sebesar 1.512 ton (14,29%); Provinsi Aceh 1.130 ton (10,68%); Provinsi Lampung 837 ton (7,91%); Provinsi Sulawesi Tenggara 647 ton (6,11%); Provinsi Jawa Timur 319 ton (3,01%); Provinsi Papua Barat 266 ton (2,51%); Provinsi NTB 256 (2,42%); Provinsi Maluku Utara 228 ton (1,90%) dan Provinsi Maluku 175 ton (1,65%).

Penurunan daya dukung perairan mejadi tantangan utama,.
Merebaknya serangan penyakit pada budidaya ikan kerapu akhir-akhir ini cukup menghawatirkan pada beberapa sentral produksi seperti Lampung. Agen utama penyebab kasus penyakit ini disebabkan oleh penyebaran virus dan jamur. Menurut Teguh Setyiono Senior Technical Service PT. Suri Tani Pemuka sebagaimana dikutif dalam Trobos Aqua, ia menyebut bahwa iridovirus sebagai penyebab kematian massal yang paling sering terjadi menyerang ikan kerapu. Penurunan daya dukung lingkungan perairan disinyalir menjadi penyebab merebaknya permasalahan penyakit. Introduksi vaksin bagi ikan kerapu, diharapkan membawa angin segar bagi pencegahan merebaknya penyakit yang diakibatkan virus tersebut.

Kasus lain yang baru-baru ini menggemparkan adalah terjadinya fenomena  red tide sebagai akibat dari blooming algae yang telah mengakibatkan kematian massal ikan kerapu di Teluk Lampung menjadi indikasi bahwa telah terjadi penurunan daya dukung perairan. Semakin padatnya aktivitas usaha budidaya kerapu di KJA dengan tanpa adanya penataan ruang yang baik, dipastikan akan memicu permasalahan tersebut. Mempertimbangkan hal tersebut, maka penetapan zonasi atau tata ruang perairan khususnya untuk aktivitas budidaya menjadi sangat mutlak diperlukan dalam rangka mempertahankan daya dukung perairan, sehingga aktivitas budidaya akan terjamin keberlanjutannya.

Ini diperkuat oleh pernyataan Ali pengurus Forum Kerapu Lampung (Fokel) bahwa penataan ruang KJA budidaya kerapu sudah menjadi kebutuhan yang memaksa, menurutnya perairan ini sudah jenuh sehingga penyebaran penyakit akan mudah dan cepat terjadi dari satu unit ke unit lainnya. “Kami mengharapkan pemeritah daerah turun langsung dan segera menetapkan regulasi untuk penataan ruang aktivitas usaha budidaya dan membatasi pembangunan KJA baru di perairan ini”, jelas Ali serius. Ditambahkan Ali permasalahan ketersediaan pakan berkualitas juga masih minim akhir-akhir ini. Pembudidaya masih mengandalkan ikan rucah segar sebagai pakan utama kerapu, karena dinilai lebih baik jika dibandingkan menggunakan pakan buatan, namun ketersediaannya masih bersifat musiman, sedangkan pakan buatan masih belum teruji efektifitasnya. Hal tersebut juga diungkapakan Wajan Sudja disela-sela pembahasan RSNI Budidaya Ikan Kerapu tahun lalu, bahwa riset terkait penggunaan pakan buatan untuk budidaya laut khususnya kerapu menjadi sebuah kebutuhan yang bersifat mendesak, pakan buatan tersebut harus teruji mampu menyamai efektifitas penggunaan dengan pakan rucah. “Saya malah mengusulkan ada direktorat teknis yang berdiri sendiri dibawah Ditjen Perikanan Budidaya yang secara khusus menangani masalah pakan ikan ”, imbuh Wajan penuh harap.

Demfarm budidaya ikan kerapu, upaya percepatan kawasan budidaya kerapu,.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Ditjen Perikanan Budidaya terus mendorong upaya percepatan pengembangan kawasan budidaya laut di daerah-daerah potensial melalui pengembangan model usaha budidaya bebasis manajemen kelompok. Menurut Direktur Produksi Perikanan Budidaya  Ir. Abduh Nurhidajat, M.Si sebagaimana dikutip dalam Trobos Aqua, pada tahun 2012 Ditjen Perikanan Budidaya melalui alokasi APBNP telah mengembangan percontohan (demfarm) usaha budidaya ikan kerapu di 10 (sepuluh) Kabupaten yang merupakan kawasan-kawasan potensial antara lain Kabupaten Langkat (Sumatera Utara); Kabupaten Pesisir Selatan (Sumatera Selatan); Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau); Kabupaten Bangka Selatan (Kepulauan Riau); Kabupaten Belitung (Kepulauan Riau); Kabupaten Situbondo (Jawa Timur); Kabupaten Lombok Timur (NTB); Kabupaten Lombok Tengah (NTB); Kabupaten Lombok Barat (NTB); Kabupaten Bima (NTB). Disamping alokasi yang berasal dari APBNP, Ditjen Perikanan Budidaya juga telah mengalokasikan anggaran melalui APBN tahun 2012 yaitu untuk pengembangan demfarm budidaya kerapu di Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Tenggara. Ditambahkan Abduh, tujuan pengembangan demfarm ini adalah dalam rangka memperkenalkan model penerapan usaha budidaya ikan kerapu yang sesuai teknologi anjuran, diharapkan melalui pengelolaan demfarm secara berkelompok ini masyarakat akan mampu mengelola usahanya secara berkelanjutan. “ Demfarm ini juga memperkenalkan konsep KJA ramah liingkungan dari bahan HDPE, disamping itu kami juga akan memperkenalkan jenis ikan kerapu hibrida yaitu jenis kerapu cantik sebagai hasil perkawinan silang ikan kerapu hibrid cantang dengan kerapu batik”, jelas Abduh.

Sejauh ini hasil monitoring terhadap demfarm ikan kerapu pada beberapa kawasan menunjukan perkembangan yang menggembirakan.Diakui Rizal ketua Pokdakan Putra Bahari di Batu Nampar Lombok Timur, bahwa jenis kerapu cantik mempunyai kelebihan dan kekurangan dibanding kerapu lainnya. Dijelaskan Rizal, kerapu cantik cenderung tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan dibanding kerapu lainnya, ini terbukti selama pemeliharan 3,5 bulan tingkat SR masih mencapai >90%, namun kelemahannya pertumbuhan lebih lambat dibanding kerapu cantang dan kerapu macan. Namun demikian menurutnya ikan kerapu bebek masih menjadi primadona dikalangan pembudidaya. Dirinya, meminta agar pasar kerapu hibrida ini dijamin dan tidak kalah bersaing dengan kerapu macan. “Untuk kerapu cantik ini, kami berharap pemerintah lebih giat melakukan promosi pasar ekspor sehingga harganya mampu bersaing paling tidak sama dengan harga jenis kerapu macan”, imbuh Rizal.

Komoditas lain terus didorong,..
Tidak kalah menariknya, usaha budidaya ikan laut lainnya semisal Bawal Bintang, Kakap Putih dan Lobster saat ini mulai berkembang di masyarakat dan telah menjadi komoditas unggulan yang diminati pasar baik domestikk maupun untuk kebutuhan ekspor. Tengok saja, usaha budidaya ikan bawal bintang telah mulai berkembang di Batam, Bintan, Lombok,Bali dan daerah lainnya. Menurut Buntaran, Koordinator Instalasi BBL Lombok di Grupuk, saat ini permintaan bawal bintang untuk memasok kebutuhan restoran sudah mulai luas. Untuk di Lombok saja permintaan rutin selalu datang dari Bali sebagai pasar utama. Walaupun harga bawal bintang tidak semahal kerapu, yaitu berkisar 50 rb rupiah per kilogram, namun karena masa pemeliharaan yang tidak terlalu lama, menjadikan komoditas ini cukup diminati oleh masyarakat pembudidaya.

Untuk mempertahankan usahanya, pembudidaya tidak jarang melakukan kombinasi budidaya kerapu dengan ikan kakap putih. Itu pula yang dilakukan beberapa pembudidaya ikan di Teluk Lampung. Dibanding kerapu bebek, budidaya ikan kakap putih jauh lebih cepat. Selain itu itu Survival Rate (SR) lebih tinggi yaitu dapat mencapai > 70%. Pangsa pasar kakap putihpun saat ini mulai terbuka luas baik untuk mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Bila dijual dipasar lokal harganya Rp. 25 ribu sedangkan jika dijual ke restoran harganya bisa mencapai Rp. 60 ribu. BBPBL Lampung saat ini telah mampu melakukan perekayasaan dalam menghasilkan benih ikan kakap putih, sehingga prospek usaha budidaya ikan kakap putih juga tidak kalah prospektif dengan jenis ikan lainnya.

Lain halnya dengan budidaya lobster,. Salah seorang pengumpul benih di Teluk Bumbang Grupuk Lombok Tengah, mengaku saat ini benih lobster sedang melimpah di alam, namun dirinya mengaku saat ini harga turun drastis, jika saja sebelumnya harga benih lobster ukuran jangkrik mencapai Rp. 5 ribu per ekor, saat ini harganya hanya berkisar Rp. 1.500,- s/d Rp. 2.000,- per ekor. Disamping itu permintaan terhadap benih lobster beberapa bulan terakhir juga menurun drastis. Nampaknya penurunan permintaan benih tersebut terkait dengan permasalahan penyakit yang terjadi di sentral-sentral produksi pembesaran lobster di NTB antara lain di Teluk Awang, Teluk Ekas dan Teluk Batu Nampar serta daerah lainnya. Penyakit lobster yang disebut Milkiest Desease ini menyerang lobster yang dibudidayakan. “Penyakit ini sebenarnya telah biasa menyerang pada musim-musim tertentu, namun saat ini merupakan puncaknya”, tutur salah seorang pembudidaya. Upaya selama ini melalui identifikasi terhadap penyebab munculnya penyakit ini terus dilakukan, dan diharapkan secepat mungkin menemukan solusi terbaik untuk pencegahan dan penanggulangan. Perlu diketahui, pemerintah dalam hal ini menunjuk BBL Lombok sebagai UPT Ditjen Perikanan Budidaya telah bekerjasama dengan ACIAR dalam upaya pengembangan riset dan perekayasaan komoditas lobster. Lobster menjadi primadona dikalangan pelaku usaha karena prospek pasar dan harga yang sangat menggiurkan, satu kilogram dibandrol dengan harga Rp. 300.000,- di tingkat pembudidaya.

Budidaya laut (mariculture) mempunyai peluang besar dalam menopang pergerakan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau, sehingga peran pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat diperlukan dengan memberikan kemudahan terhadap akses investasi pada sektor ini.


Posted by Cocon,SPi

Tidak ada komentar: