Rabu, 14 Mei 2014

Model Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan



SILVOFISHERY,..
BUDIDAYA BERDASARKAN PRINSIP KESEIMBANGAN
(sebuah studi kasus,
sebagai model bagi daerah pengembangan budidaya)


Prinsip keseimbangan (Principle of harmony) menjadi dasar bagi terwujudnnya budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Kesimbangan yang dimaksud adalah bahwa pengelolaan perikanan budidaya harus mampu menjamin berjalannya siklus dan interaksi yang saling menguntungkan dalam
sebuah ekosistem.

Silvofishery sejalan dengan prinsip blue economy

Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut diantaranya adalah : 1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa pengelolaannya bersifat zero waste; 2) menjamin keberlanjutan (sustainable); 3) menjamin adanya social inclusiveness; 4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis yang beragam ( multiple cash flow).

Silvofishery sebagai sebuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya yaitu budidaya di tambak menjadi alternatif usaha yang prospektif dan sejalan dengan prinsip blue economy. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Hal yang paling penting adalah bahwa konsep ini menawarkan alternatif teknologi yang aplikatif berdasarkan prinsip keberlanjutan (sustainable)

Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis karena mempertimbangkan kepedulian terhadap ekologi (ecologycal awareness)

Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan. Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis ini, selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi kebutuhan untuk usaha budidaya tambak, berarti disini terwujud efesiensi.

Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil produk yang terjamin keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical). Bukan hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam (eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya.

Secara umum terdapat tiga model tambak silvofishery, yaitu; model empang parit, komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di masyarakat. Pada tambak silvofishery model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air.

Pada tambak silvofishery model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak silvofishery model jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak silvofishery model empang parit. Pada tambak model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3 pola silvofishery dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola silvofishery kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:
1.   Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
2.   Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan 1).
Kabupaten Subang sebagai model pengembangan silvofishery
Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery di Kabupaten Subang saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan secara ekonomis bagi pembudidaya dan nelayan. Adalah Syamsuddin (45 th) yang saat ini menggawangi Koperasi Langgeng Jaya di Ds. Langen Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian menginisiasi pengembangan silvofishery di Subang khususnya di Desa Langen sari. Menurutnya, sejak tahun 1990 sebenarnya Silvofishery telah mulai dikenalkan dan dikembangkan di Kabupaten Subang atas inisasi dari Perhutani yang kemudian mereka sebut dengan konsep Wanamina. Awalnya mereka sangat prihatin dengan terjadinya kerusakan hutan mangrove akibat ulah yang tidak bertanggungjawab sehingga fungsi barrier dan ekologis sudah tidak ada lagi, akibatnya secara langsung berdampak pada menurunnya daya dukung tambak udang, yang berujung pada kegagalan produksi udang windu yang dibudidayakan.
Alhasil , saat ini melalui kelembagaan koperasi yang ia pimpin telah mampu menginisiasi dan mendorong pengelolan budidaya bandeng dan udang dengan konsep wanamina tersebut.
Menurut Syamsuddin, ada beberapa keuntungan ganda yang pembudidaya dapatkan dari penerapan konsep wanamina ini : Pertama : jika dibanding teknologi intensif, maka budidaya dg konsep ini lebih terjamin keberlanjutannya walaupun produktivitas jauh lbh kecil; kedua : daya dukung lahan lebih terjaga karena memegang prinsip ramah lingkungan; ketiga : produk yang dihasilkan lebih aman karena tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik); keempat : mampu menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina), dan UMKM untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup).
Pemerintah perlu memberikan pemahaman untuk terus mendorong berkembangnya konsep silvofishery daerah lain, karena konsep inilah yang secara nyata mampu menjamin keberlanjutan usaha budidaya karena secara langsung memegang prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal.

Rujukan

Bengen, D.G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.  Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(1)       Petunjuk Teknis Model Percontohan Tambak Model Silvofishery dengan Penerapan BMPs. umegajayaakuakultur.blogspot.com. Diakses pada Tanggal 15 Juli 2013.



Tidak ada komentar: