Senin, 19 Mei 2014

OPINI : Menuju MEA 2015



MENGUKUR KESIAPAN INDONESIA
MENYONGSONG AEC 2015
(referensi kebijakan, yang menunggu implementasi nyata)

Liberarilasi ekonomi pada level regional ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015 menjadi medan perang ekonomi baru yang akan memaksa Indonesia memainkan peran, apakah sebagai piguran atau
pemeran utama..? Ada beberapa kalangan menilai bahwa AEC mestinya tidak harus dianggap sebagai momok namun harus disikapi secara positif, dimana AEC mestinya dijadikan momen untuk menyatukan segenap kekuatan negara-negara di kawasan ASEAN sebagai  kekuatan besar ekonomi baru di dunia. Namun disisi lain, faktanya AEC masih dianggap sebagai hal menakutkan bagi negara-negara ASEAN.  AEC dinilai menjadi persaingan ekonomi di level regional ASEAN, sehingga antar negara ASEAN sendiri menganggap satu sama lain sebagai pesaing utama.

Terlepas dari persepsi di atas, pada kenyataannya era liberalisasi arus barang, jasa dan tenaga kerja memang mau tidak mau harus kita songsong, tentunya dalam hal ini Indonesia harus siap untuk jadi pemenang dan pemeran utama sebagai calon kekuatan ekonomi dunia baru seperti yang seringkali diprediksi oleh beberapa ahli ekonomi. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kesiapan Indonesia mewujudkannya....? atau bahkan sebagaian negara ASEAN sendiri secara umum masih gagap menghadapi era ini. Jika dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya memang Indonesia mempunyai potensi nilai strategis yang tinggi jika dibanding negara ASEAN lain. Namun demikian, Nilai strategis yang begitu besar tersebut harus dilihat bukan sekedar sebagai peluang semata, namun seyogyanya  juga perlu disikapi sebagai sebuah tantangan besar. 

Ada dua nilai strategis yang bisa menjadi peluang namun sebaliknya bisa menjadi tantangan besar jika Indonesia tidak mampu menyikapinya. Pertama, dengan sumberdaya manusia yang menguasai hampir 50% total penduduk ASEAN, Indonesia berpotensi sebagai pangsa pasar baru seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa, jika kita sendiri tidak melihat ini sebagai sebuah peluang besar bagi pemenuhan kebutuhan pasar domestik, maka siap-siap Indonesia akan menjadi tujuan utama pasar ASEAN dan dunia, sementara produk dalam negeri hanya akan menjadi pajangan semata. Kedua, dengan sumberdaya alam yang begitu melimpah Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan produk barang dan jasa melalui optimalisasi pemanfaatan SDA secara arif dan berkelanjutan, namun disi lain jika kita tidak mampu mengelola secara mandiri dan optimal, maka lagi-lagi Indonesia hanya akan menjadi ladang investasi asing, sehingga nasionalisasi terhadap pengelolaan SDA sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 hanya akan menjadi harapan tak berujung. Ada kata kunci sebagai prasyarat mutlak jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam kancah persaingan ekonomi di atas, yaitu “Daya Saing (Competitiveness)”

Bicara daya saing, menurut The Global Competitiveness Index (GCI) tingkat daya saing Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Faktor utama yang mempengaruhi daya saing tersebut adalah kesiapan infrastruktur. Inilah yang menjadi tantangan bagaimana Indonesia harus berbenah 1).

Peluang dan Tantangan AEC dilihat dari perspektif sub sektor perikanan budidaya

Dari ulasan di atas, dayasainglah sebenarnya yang menjadi ukuran apakah Indonesia mampu memainkan peran utama dalam kancah persaingan perdagangan bebas ASEAN. Daya saing sangat erat kaitannya dengan efesiensi dan mutu/kualitas. Produk perikanan memang saat ini menjadi salah satu komoditi strategis dalam perdagangan AEC seiring dengan paradigma masyarakat global bahwa sektor perikanan memegang peranan penting dalam menopang ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Data Badan Pusat Statistik  mencatat sampai dengan triwulan III tahun 2013 pertumbuhan PDB perikanan nasional mencapai 6,9%.

Indonesia memang disuguhi begitu besar potensi sumberdaya akuakultur, keberpihakan dari aspek teknis, dan pola iklim yang sangat mendukung terhadap pengembangan akuakultur, menjadikan Indonesia sangat potensial memainkan peran melalui sub sektor ini. Data FAO yang dirilis bulan Maret 2013 mencatat bahwa pada Tahun 2011 Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai penghasil produk akuakultur  dunia walaupun dari sisi volume produksi masih jauh di bawah China, dimana Indonesia hanya memberikan share sebesar 9,48% terhadap total volume produksi dunia. Ada hal lain yang nampaknya kita harus banyak belajar dari China, dimana capaian produksi juga diiringi oleh peningkatan nilai tambah dan daya saing. Pangsa pasar dalam negeri menjadi sasaran utama negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sehingga nilai tambah terhadap produk jelas dirasakan secara utuh oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Nampaknya ini yang menjadi PR besar bangsa Indonesia, kita punya semuanya mulai dari SDM dan SDA yang melimpah, tapi harus diakui lemah dari sisi pengelolaan yang efektif sehingga jika bicara daya saing mungkin kita masih perlu perbaiki. Dari aspek usaha budidaya, kita akui bahwa pendekatan masih mengarah bagaimana menambah jumlah pelaku usaha, namun belum pada tataran bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemandirian skala usaha, padahal ini penting bagaimana skala usaha budidaya mampu berdaya saing. Ini bisa dilihat, jika bicara pada tataran skala ekonomi makro, maka Usaha dengan skala besar/Industri di Indonesia dinilai mempunyai potensi untuk bersaing dengan negara ASEAN lain, namun jika sudah bicara daya saing pada tataran skala usaha kecil nampaknya Indonesia harus berjuang lebih keras lagi, padahal sektor mikro (UMKM) saat ini yang diharapkan menjadi barometer utama ekonomi bangsa Indonesia.

Dalam perspektif perikanan budidaya daya saing tidak bisa lepas dari faktor efesiensi dan mutu, dimana ke dua faktor tersebut akan mampu mendorong terhadap percepatan penumbuhkembangan kapasitas usaha budidaya yang kuat dan mandiri. Dukungan yang bersifat instan top to down sebaiknya sudah harus dikurangi, namun demikian Pemerintah harus memposisikan diri sebagai katalisator, fasilitator dan regulator bagaimana menjamin kemudahan akses bagi jalannya bisnis akuakultur yang positif. Dari aspek sosial budaya, pada prinsipnya pola pikir masyarakat bersifat parternalistik, sehingga jika pemerintah mampu memainkan peran sebagai fasilitator dalam memfasiliasi kemudahan akses yang secara langsung berdampak pada efesiiensi produksi dan margin keuntungan yang baik, maka sebenarnya mereka akan terjun langsung secara mandiri melakukan usaha akuakultur, disisi lain akan secara langsung meningkatkan gairah investasi pada bisnis ini.

Penulis mencoba untuk memetakan beberapa langkah konkrit yang harus segera ditindaklanjuti untuk meningkatkan daya saing perikanan budidaya sebagai senjata ampuh menghadapi liberalisasi ekonomi AEC :

Pertama, benahi infrastruktur. Kesiapan infratruktur sebagai tolak ukur bagaimana suatu negara mampu berdaya saing. Infrastruktur harus dibangun dalam kerangka menjamin efesiensi produksi. Siklus bisnis akuakultur akan mampu berjalan berkesinambungan jika mata rantai sistem produksi mampu bergerak dari hulu sampai hilir, dimana didalamnya infrastruktur menjadi suatu keniscayaan yang harus dibangun. The Global Competitiveness Index (GCI) menyebutkan bahwa kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 148 negara, dimana kualitas infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand 2)

Fenomena inefesiensi seringkali terjadi pada siklus bisnis akuakultur sebagai akibat tidak terjaminnya konektivitas yang efisien dari hulu ke hilir, kondisi inilah yang menyebabkan volume produksi di sentral produksi belum sepenuhnya menjamin nilai tambah dan daya saing produk budidaya yang dihasilkan. Tengok saja misalnya, sentral produksi budidaya laut lebih banyak tersentral di Indonesia bagaian timur sementara industri terpusat di Jawa (Surabaya dan Jakarta) kondisi lelahnya rantai distribusi pasar sebagai akibat infrastruktur yang tidak memadai menyebakan peningkatan biaya logistik tinggi sehingga pada akhirnya menyebabkan inefesiensi. Pengembangan minapolitan harus dibangun dalam kerangka menjamin aksesibilitas proses bisnis yang efesien.

Kedua, Standar. Daya saing sebuah produk sangat ditentukan oleh kualitas/mutu, dimana mutu yang berdaya saing mustahil akan dicapai jika kita tidak mempunyai standar mulai dari tahapan proses produksi sampai hasil produksi. Standar disini tentunya standar yang telah diharmonisasi dengan standar baku yang berlaku dalam perdagangan pasar global baik sebagai public standart maupun private standart. Hanya poduk yang menerapkan standarlah yang akan mampu bersaing di tataran perdagangan global.

Inilah faktor kedua yang masih lemah dan secara umum belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, sehingga berbagai masalah ketimpangan antara hasil produksi di hulu dengan di Industri seringkali terjadi. Penerapan standar masih dianggap sebagai hal yang memberatkan di tingkat pembudidaya, kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pola tata niaga yang tidak tertata dengan baik. Penaataan middleman sampai saat ini belum dilakukan, padahal masalah suplly chain di Indonesia masih sangat ditentukan oleh peran middleman yang tidak terkontrol.  Sebenarnya, kita telah punya regulasi terkait Standar, namun lemah dalam sosialisai dan penerapan di level stakeholders terkait. 

Dengan berlakunya AEC maka standar ini menjadi hal mutlak, sehingga mulai saat ini seluruh stakeholders terkait khususnya pelaku usaha perlu didorong agar merubah pola pikir bahwa melek standar menjadi sebuah kebutuhan. Pemerintah segera merubah regulasi dari semula standar yang bersifat voluntary (sukarela) menjadi  mandatory (wajib). 

Disisi lain, Indonesia juga harus punya standar baku terhadap komoditas maupun produk impor lainnnya dari negara lain, ini penting sebagai perangkat  yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya risk analysis terhadap produk yang masuk ke Indonesia.

Ketiga, Teknologi. Input teknologi akuakultur harus menjamin efesiensi, aplikatif dan mampu diadopsi secara mudah oleh masyarakat melalui pendekatan komoditas yang berbasis pada market oriented. Penerapan teknologi harus menjamin usaha akuakultur yang berkelanjutan, mampu menjamin keseimbangan ekosistem melalui pengendalian dan pengelolaan lingkungan yang efektif berbasis pada kearifan lokal. Modernisasi teknologi budidaya harus terukur, penerapan teknologi yang tidak terukur justru dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi keberlanjutan akuakultur itu sendiri.

Keempat, Regulasi. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus menempatkan diri sebagai regulator yang efektif. Regulasi harus mampu memberikan kemudahan akses bagi investasi di bidang  akuakultur. Lambannya investasi di Indonesia seringkali terjadi karena terbentur oleh birokrasi yang dianggap masih melelahkan, disamping karena kurangnya jaminan kepastian hukum dan keamanan investasi. Konflik kepentingan terkait pemanfaatan ruang laut misalnya, masih seringkali kali terjadi di beberapa daerah, sehingga berimbas pada keberlanjutan usaha marikultur. Kondisi ini sebagai akibat dari regulasi khususnya penataan zonasi/tata ruang wilayah (RTRW) yang belum ada, disisi lain implementasi regulasi seringkali terbentur oleh kurangnya persamaaan persepsi terkait pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.

Penataan dan konsistensi implementasi regulasi mulai dari perizinan usaha, zonasi/RTRW serta kepastian hukum menjadi prasyarat mutlak yang harus segera dibenahi dengan membangun sinergisiitas dan persamaan persepsi antara Pusat dan daerah, sehingga ada jaminan bagi keamanan investasi di bidang akuakultur.

Kelima, Kelembagaan. Penguatan kelembagaan seringkali masih belum menjadi fokus perhatian kita, padahal kelembagaan baik kelompok maupun penunjang menjadi titik tolak bagi peningkatan kapasitas dan kemandirian usaha. Keberlanjutan usaha budidaya sangat ditentukan oleh kelembagaan yang kuat, karena dengan kelembagaanlah akan mampu menjamin terhadap kemudahan akses baik produksi, pasar maupun permodalan. Kelembagaan yang kuat akan mampu mempermudah dalam membangun kemitraan usaha yang kuat dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan mampu menjamin efesiensi, posisi tawar, daya saing dan peningkatan kapasitas usaha. 

Permasalahan tidak berjalannya siklus bisnis akuakultur di beberapa daerah yang menjadi sentral produksi, karena disebabkan belum terbangun sebuah kelembagaan dan kemitraan yang kuat dan mandiri. 

Keenam. Sumberdaya manusia. AEC menuntut adanya arus bebas tenaga kerja, jadi siapapun dan dari negara manapun di kawasan ASEAN bebas untuk bersaing sebagai pelaku ekonomi. Daya saing SDM sangat ditentukan oleh budaya kerja dan pola pikir yang maju dan visioner. Pola Pembinaan terhadap masyarakat harus lebih didorong bukan untuk mencetak pelaku usaha budidaya baru tapi untuk melahirkan pelaku usaha budidaya baru. Dengan melahirkan pelaku usaha budidaya baru, maka jiwa wirausaha dan integritasnya akan mampu teruji dengan baik. Indonesia ini butuh SDM akuakultur yang bukan hanya mampu bersaing pada tataran ekonomi lokal, namun yang mampu bersaing dalam tataran ekonomi global.
AEC sudah di depan mata, langkah awal lainnya yang harus segera dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman secara massive ke seluruh stakeholders khususnya di daerah – daerah potensial terkait peluang, dan tantangan dalam menghadapi AEC. Pemahaman dan persamaan persepsi ini perlu agar daerah paham dan segera menyiapkan langkah antisipatif bagaimana menyiapkan sumberdaya melalui kerjasama sinergi dengan Pemerintah Pusat, sehingga pada akhirnya kita tidak lagi gagap menghadapi liberalisasi ekonomi ASEAN ini. Yang lebih penting kita tidak hanya menjadi penonton dan harus mempertaruhkan kedaulatan sumberdaya yang kita miliki.

Rujukan
(1)(2)Survey Peringkat Daya Saing Indonesia menurut The Global Competitiveness Indeks (GCI 2013). www.tempo.com. Diakses Tanggal 5 Maret 2014

Tidak ada komentar: