PENGEMBANGAN MARIKULTUR
BUTUH KESIAPAN REGULASI
(belajar
dari negeri orang,.. sampai kapan..? )
Kementerian
Kelautan dan Perikanan tengah mempersiapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke- 3 untuk 5 tahun
mendatang yaitu tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Khusus untuk sub sektor
perikanan budidaya, pengembangan marikultur menjadi bagian yang
fokus akan
digarap sebagai prioritas pada pelaksanaan RPJMN Perikanan Budidaya pada tahun
tersebut.
Nampaknya
kita baru mulai sadar, bahwa perlu upaya optimalisasi pemanfaatan potensi besar marikultur Indonesia yang telah
lama tidur ini. Kalau saja kita bandingkan dengan Negara seperti China, memang
kita masih ketinggalan jauh, China tidak hanya sekedar melihat potensi
besar tersebut sebagai harapan tak berujung, namun mereka telah mampu
memanfaatkan secara optimal dan bertanggungjawab jauh sebelum bangsa kita
menyadarinya. Sehingga tidak salah Dr. Sunoto (Penasehat Menteri Kelautan dan
Perikanan) mengatakan bahwa dalam mengelola SDA kelautan dan Perikanan,
Indonesia harus banyak belajar dari China.
Terlepas
dari kata terlambat atau tidak, yang pasti telah dimasukannya pengembangan
marikultur sebagai prioritas dalam RPJMN ke-3 ini, diharapkan benar-benar akan
terimplementasi secara nyata dan bukan
berhenti hanya dalam tataran wacana. KKP melalui Ditjen Perikanan
Budidaya akan memfokuskan pengembangan marikultur pada perairan laut lepas (offshore), sebuah kebijakan strategis
dan fantastis yang mudah-mudahan akan mampu terealisasi secara nyata sebagai
tanaggungjawab moral dalam upaya mendorong optimalisasi pemanfaatan SDA bagi
kemaslahatan bangsa ini.
Nilai
strategis marikultur bagi Indoonesia
Selama hampir
5 (lima) dasawarsa pendekatan pembangunan ekonomi hanya
terpusat pada pengembangan
wilayah daratan (land base development). Fenomena ini sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki
potensi sumberdaya
kelautan
yang luar biasa besar hingga
masyarakat dunia menjulukinya sebagai mega biodiversity.
Perubahan paradigma konsep pendekatan pembangunan nasional harus terimplementasi dengan memberikan ruang yang lebih besar pada perwujudan pertumbuhan ekonomi
melalui
pemanfaatan nilai startegis ekonomi pada
kawasan/wilayah pesisir dan laut salah satunya melalui pembangunan budidaya laut (mariculture).
Dengan garis pantai mencapai
81.000 km dengan total potensi
lahan budidaya laut seluas 8,36 juta ha, menjadikan sebuah peluang ekonomi yang sangat
besar melalui pemanfaatan yang arif dan berkelanjutan.
Disis lain,
tantangan terkait ketahanan pangan (food security)
menjadi sebuah isu
nasional yang bersifat strategis
dan
harus segera menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia, seiring peningkatan
laju pertumbuhan penduduk Indonesia
yang menuntut ketersediaan guna pemenuhan
kebutuhan
pangan
dan gizi masyarakat
secara berkelanjutan.
Marikultur sebagai alternatif
usaha prosepektif keberadaannya menjadi sangat dibutuhkan untuk terus didorong melalui
pengembangan kawasan budidaya berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir,
disis lain pengembangan kawasan marikultur mempunyai
nilai
strategis baik secara ekonomi
maupun
geopolitik
sebagai kekuatan ekonomi
pada kawasan pulau-pulau terluar.
Marikultur juga berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan
yang dalam salah
satu
mata rantainya adalah kegiatan ekonomi
masyarakat berbasis budidaya
perikanan.
Perlu
belajar dari negara seperti Norwegia,.
Berkaca
dari Norwegia, yang saat ini merajai pengembangan industri marikultur dunia
dengan Salmon sebagai brand image negaranya, memang tidak dapat
dipungkiri, bahwa Negara ini telah 40 tahun yang lalu mengembangkannya sebagai
sebuah industri dengan melakukan modernisasi teknologi budidaya yang efektif.
Dan kita tahu Indonesia baru berencana akan melangkah....!!!.
Apa
yang perlu kita pelajari dari Norwegia..? Kenapa Norwegia mampu menjadikan
marikultur sebagai sebuah industri yang diperhitungkan dunia? Bagaimana mereka
mampu menjadikan salmon sebagai komoditas yang menjadi brand image dalam
perdagangan dunia, sehingga menjadi salah satu sumber utama devisa negara?
Kunci jawabannya ternyata karena Norwegia mampu mendorong penerapan Regulasi yang efektif. Regulasi
diarahkan dalam upaya memberikan jangkauan bagi kemudahan pengelolaan usaha
mulai dari teknologi, infrastruktur, kepastian hukum, investasi, dan market. Kesemuanya mampu berjalan secara
efektif dan menjadi sebuah bagian integral sebagai penentu terhadap jalannya
bisnis marikultur yang berdaya saing.
Lalu
bagaimana dengan Indonesia padahal kita punya potensi SDA lebih besar, kita
punya komoditas yang punya peluang besar seperti bandeng yang dijuluki white salmon, kita punya kakap putih yang punya peluang sama dengan
Salmon..?
Menarik,
apa yang diakui oleh pelaku bisnis marikultur yaitu Assosiasi Budidaya Ikan
Laut Indonesia (Abilindo), dan mestinya ini harus segera ditindaklanjuti.
Abilindo memprediksi bahwa pasar untuk komoditas marikultur masih terbuka luas.
Ikan kakap putih dan kakap
merah misalnya mirip dengan rasa ikan
Cod/Gindara yang merupakan ikan premium yang diterima baik
di USA, Australia, Jepang, dan Eropa.
Namun
sayang, beberapa kendala mendera dan sayangnya lagi mereka harus berjibaku
sendiri dalam menyelesaikannya. Masalah utama dalam pengembangan marikultur
menurut Abilindo adalah masih terjadinya inefesiensi,
ini sebagai akibat (i) skala usaha marikultur di Indonesia masih kecil ; (ii)
infrastruktur yang buruk sehingga biaya logistik mahal; (iii) biaya pemasaran
mahal; dan (iv) teknologi budidaya belum maju.
Masalah
lainnya, menurut Abilindo bahwa regulasi khususnya terkait ijin pengangkutan
ikan hidup dirasa masih memberatkan, sehingga perlu adanya upaya untuk mencari
solusi terbaik.
Asean Economic Community
tahun 2015 akan menuntut persaingan dagang terhadap komoditas marikultur yang
semakin ketat, sehingga Indonesia mestinya perlu memperkuat pengembangan
marikultur yang saat ini ada. Eksportasi benih ke negara-ngara pesaing
hendaknya sudah mulai harus dibatasi jika Indonesia ingin menjadi pemain utama.
Jika masalah ini tidak segera ditindaklanjuti melalui regulasi yang konsisten,
maka bagaaimana Indoonesia akan mampu mendorong marikultur sebagai sebuah industri..?
ya, sebuah masukan langsung dari pelaku usaha yang menurut penulis sangat
berharga sebagai referensi bagi efektifitas implementasi kebijakan pengembangan
marikultur ke depan.
Ada
beberapa poin penting terkait regulasi yang coba penulis petakan setelah kita
berkaca dari kesuksesan Norwegia menjadikan marikultur sebagai andalan utama
negeri tersebut.
Pertama,
input produksi. Pengembangan marikultur apalagi pada perairan offshore membutuhkan input teknologi
yang efektif. Modernisasi teknologi budidaya menjadi hal mutlak yang harus
dipersiapkan sejak dini. Penerapan teknologi harus sejalan dengan prinsip sustainable aquaculture, disamping itu
teknologi harus terukur, mampu menjamin efesiensi dan margin keuntungan yang
lebih besar.
Pengembangan
teknologi harus berbasis pada pendekatan kawasan potensial dan komoditas
unggulan yang secara ekonomi mampu diterima pasar secara luas. Bayangkan, Norwegia
saja hanya memilih satu komoditas unggulan yaitu Salmon, tapi mampu digarap
secara optimal mulai dari hulu hingga hillir secara terintegrasi, sehingga optimalisasi
pengembangan salmon saja mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi yang sedemikian
besar.
Sehingga
kata kuncinya, pilihan prioritas komoditas menjadi hal penting, namun demikian
komoditas tersebut harus mampu secara optimal digarap secara efektif sebagai
sebuah industri marikultur yang maju dan berkelanjutan dengan
meempertimbanagkan faktor pendukung lainnya seperti ketersediaan benih, pakan
dan sumberdaya manusia.
Kedua,
kemudahan investasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan bisnis
marikultur kita akui belum secepat di negara lain, hal ini karena bisnis
marikultur membutuhkan investasi yang sangat besar. Bisa dibayangkan sampai
saat ini pemanfaatan lahan perairan untuk marikultur baru mencapai kurang dari 10%.
Pemerintah harus menyadari bahwa tidak mungkin pengembangan marikultur akan
maju, jika tidak membuka diri dan menarik investasi di bidang ini.
Pemerintah
harus menyiapkan regulasi yang secara langsung memberikan kemudahan dan
keamanan bagi masuknya investasi pada bisnis marikultur. Pemerintah harus giat
mempromosikan dan meyakinkan para investor untuk menggarap potensi ini dengan
memberiikan jaminan kemudahan akses dari semua aspek termasuk yang sangat
penting adalah infrastruktur dan jaminan kepastian hukum terhadap jalannnya
investasi.
Kasus
yang terjadi beberapa tahun lalu di Kabupaten Pulau Morotai hendaknya harus
dijadikan pelajaran berharga, bahwa persamaan persepsi terkait penerapan
regulasi baik antara pihak pemerintah daerah, investor dan pemerintah itu
sangat penting dalam rangka menjamin keberlanjutan investasi. Akan sangat
diisayangkan jika akan menjadi preseden buruk bagi efektifitas jalanya bisnis
marikultur di masa yang akan datang. Peran
pengaawasan dan penegakan hukum harus diiupayakan dalam kerangka menjamin
jalannya investasi dan bisnis marikultur yang kondusif.
Ketiga,
akses pasar. Salah satu faktor utama yang menjadikan Salmon Norwegia mampu
merajai pasar dunia, adalah karena mampu memaikan peran pasar. Pilihan
komoditas perlu didasarkan pada pertimbangan market oriented, jika
tidak, maka siap-siap kasus over suplly yang seringkali terjadi di
Indonesia akan mengakibatkan kelesuan di bisnis ini. Indonesia harus mampu
mendorong terbukanya akses pasar secara luas. Produk hasil budidaya harus
berbasis pada keinginan dan trend
pasar, sehingga mampu berdaya saing. Langkah awal, segera petakan peluang
pasar..!!
Keempat,
penataan ruang (zonasi). Pengembangan kawasan marikultur pada kenyataannya masih terbentur oleh kendala khususnya pada pola pengaturan pemanfaatan ruang.
Konflik horisontal seringkali terjadi, dan pada akhirnya
kasus tersebut secara umum selalu berimbas
pada aktivitas usaha
budidaya
yang notabene
secara
umum dilakukan oleh masyarakat pesisir.
Belum tersedianya aturan hukum terkait tata
kelola pemanfaatan ruang seringkali
menjadi
konflik yang berunjung pada penyelesaian yang mengedepankan pendekatan man-power,
sudah pasti ini akan merugikan pelaku
usaha budidaya. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya
pesisir dan
laut yang ada serta karakteristik wilayah pesisir dan laut
yang “open access” sehingga
mendorong wilayah pesisir dan laut menjadi salah satu lokasi utama bagi
kegiatan-kegiatan lintas sektoral (multi – use).
Selain itu, konflik kepentingan
tidak hanya terjadi antar pengguna, yakni sektoral dalam pemerintahan dan
juga
masyarakat setempat dan
pihak swasta, namun juga antar
pengguna. Mempertimbangkan hal tersebut,
maka
aturan hukum terkait pengaturan
tata kelola pemanfaatan ruang perairan dan
laut menjadi sebuah
keniscayaan sebagai
upaya dalam menjamin aktivitas
bisnis marikultur yang berkelanjutan.
Pada akhirnya,
semogga tugas mulia Pemerintah dengan mendoroong marikultur sebagai prioritas
pembangunan ke depan akan mampu terimplementasi dengan baik. Penulis akhiri
dengan sebuah pesan “Seluruh bangsa
ini mempunyai hak untuk berdaulat dan mandiri dalam pengelolaan anugrah SDA
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”
Rujukan
:
Ikhsani
dan Fandi Winna. 2011. Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan
Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu. IPB Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar