Selasa, 17 Juni 2014

Berita : Dilematis Industri Pengolahan Udang



Kembang Kempis Industri Pengolahan Udang

Keluhkan kurangnya pasokan bahan baku udang segar, industri pengolah udang disarankan merasionalisasi jumlah pabrik agar utilitas membaik. Angka utilitas 2013 adalah 65 %, artinya masih35 % mangkrak

Ibarat penyakit, statusnya kronis atau sudah berlangsung menahun. Sudah lama industri hilir pengolah udang tanah air mengeluhkan problem kontinuitas pasokan bahan baku
utama berupa udang segar. Tak sedikit industri yang biasa diistilahkan dengan cold storage ini megap-megap, bahkan sebagian rontok dikarenakan tak sanggup berebut udang segar dari pembudidaya sebagai bahan baku utama pabrik.

Dimintai tanggapannya, Saimi Saleh menjawab dengan ungkapan sinikal bernada membenarkan. “Sejak belum lahir, bahan baku sudah sulit,” ucap dia. Presiden Direktur  PT Indokom-perusahaan cold storage yang berbasis di Lampung-ini menggambarkan, total kapasitas maksimal sekitar 70 ton per hari.

Apa lacur, saat ini kenyataannya hanya mengolah bahan baku rata-rata 35 ton dengan hasil produk 20 ton saban hari. “Dua bulan lalu bahan baku turun sekitar 25 – 35 %, meskipun kualitas tidak turun,” imbuh Saimi.

Sementara itu, alternatif impor bahan baku tidak dimungkinkan karena pemerintah memberlakukan larangan bagi pemasukan udang jenis vannamei, utamanya dari negara-negara yang dinyatakan positif terjangkit penyakit udang. Tujuannya adalah melindungi perairan Indonesia dari cemaran bibit penyakit yang banyak merebak di beberapa negara produsen udang, agar industri perudangan nasional terhindar dari ancaman kerugian massal. Contoh terbaru adalah wabah EMS (Early Mortality Syndrome) yang telah meluluhlantakkan kedigdayaan udang Thailand, Cina, Vietnam, Malaysia, dan India.

Kata Saimi, menjadi wajar dan sudah seharusnya apabila pemerintah melarang impor udang vannamei, demi menjaga pertumbuhan dan mengamankan produksi udang dalam negeri. Tetapi, sambung dia, pemerintah punya konsekuensi harus serius menggenjot produksi dalam negeri agar kebutuhan industri hilir terpenuhi.

Sejauh ini 100 % hasil olahan Indokom menyasar pasar ekspor dengan tujuan terbesar Amerika. Tren pasar, ukuran  kecil banyak diminati, dengan bentuk olahan udang dikupas “ready to eat” atau “ready to cook”. Soal harga, kata dia biasa turun naik. Dan menurutnya harga saat ini masih sesuai. Masalahnya, tunjuk Saimi, ada di petambak. “Pabrik hanya mengolah, tidak masalah dengan harga. Yang jadi masalah itu, produksi bisa banyak atau enggak?” tanyanya.

“Nggak Ngoyo”

Yang juga mengeluhkan beratnya mempertahankan utilitas pabrik pengolahan udang adalah Mohammad Nadjikh – Presiden Direktur PT Kelola Mina Laut. Seolah patah arang, Nadjikh bahkan mengaku “nggak ngoyo” untuk bisnis udangnya. “Kalau bisnis udang, sudahlah. Situasi bagus, genjot. Tapi kalau nggak bagus, nggak ngoyo,” ucapnya pasrah.
Kata dia, saat harga tinggi sejatinya yang meraup untung tebal adalah petambak. Sedangkan cold storage, menurut Nadjikh, “Untungnya segitu-gitu aja, mepet.” Dan di situasi terkini yang harga cenderung turun, Nadjikh mengaku memilih “diam” atau wait and see, karena khawatir rugi.

Menurut Nadjikh, soal udang Indonesia pemain global, jadi sudah tahu kalau udang tidak bagus pasti tidak laku. Masalahnya petambak cuma satu, kata dia. “Maunya untung gede terus, dan yang mengolah ini tidak dikasih untung. Bahkan bangkrut nggak papa,” sindir dia dengan nada gusar. Padahal, masih ia merepet, “Kalau cold storage bangkrut siapa yang akan menyerap udang mereka?”

Saat ini, produk Nadjikh menyasar pasar ekspor dengan Amerika sebagai target terbesar, 60 % dari total ekspornya, sementara Jepang 30 % dan 10 % sisanya beberapa negara lain. Permintaan terbanyak berupa udang beku headless (tanpa kepala), meski sebagian juga yang siap masak.

Bertolak Belakang

Anehnya, penjelasan Saimi dan tudingan Nadjikh bertolak belakang dengan paparan Iwan Sutanto, petambak yang juga ketua asosiasi pembudidaya udang SCI (Shrimp Club Indonesia). Pemaparan Iwan justru menggambarkan adanya kelebihan produksi udang di tambak akibat serapan hilir yang rendah. Ujungnya, harga udang di tingkat pembudidaya merosot.

Iwan menyebut, akhir-akhir ini harga udang turun sekitar 30 %. Size 50 ekor per kg yang semula berkisar Rp 100 ribu/kg sekarang di kisaran Rp 75 ribu/kg,dengan HPP (Harga Pokok Produksi) sekitar Rp 45 ribu. Ia mengeluhkan keuntungan yang tidak begitu baik. “Buat kita sekarang, yang penting ada yang beli, bukan harga berapa. Karena barang kalau tidak dibeli akan rusak,” keluhnya.

Iwan justru mengatakan, pembudidayalah yang kerap ditekan oleh para buyer (pembeli). Di saat panen, buyer menahan agar petambak tidak memanen dengan tidak segera membeli. Alhasil harga di tingkat pembudidaya tertekan rendah. Sementara hilir terus meminta karena produksi harus terus berjalan. Sehingga harga di tingkat industri pengolah pun jadi tinggi.

Dampak dari mekanisme tak sehat para pedagang perantara ini, kata Iwan, obsesi pemerintah meningkatkan produksi dan menangkap peluang momentum anjloknya pasokan udang dunia akibat EMS di beberapa negara lain menjadi tidak optimum. “Akibat EMS, produksi dunia turun 1 juta ton, tapi kita tidak bisa memanfaatkan dengan optimal. Karena itu seharusnya jangan sampai buyer menekan kita,” tandasnya.

Dan juga salah satu penyebab utama turunnya harga, kata Iwan, karena hilir tidak siap. Menurut dia, kemampuan industri hilir harus mengikuti kenaikan produksi dalam negeri. Industri hilir wajib mendapat perhatian tersendiri dari pemerintah, baik aspek permodalan maupun aspek teknologi peralatan produksi agar kompetitif.

Iwan menyebutkan, dari sekitar 20 pabrik pengolahan yang biasanya menyerap produksi anggota SCI, faktanya kini hanya ada 5 yang aktif membeli. Angota SCI yang sekitar 400 pengusaha tambak, memproduksi 200 ribu ton lebih udang. Kapasitas produksi sama, tetapi yang beli jauh lebih sedikit. Tak ayal harga merosot. “Tren bagus sesaat kemudian jatuh, karena hilir tidak siap. Pembudidaya kecil yang sulit,” ungkapnya.

Utilitas Rendah

Direktur Pemasaran Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Saut P Hutagalung mengakui adanya keluhan pasokan bahan baku industri hilir udang yang dia masukkan sebagai UPI (Usaha Pengolahan Ikan) ini.Tetapi menurut dia, kekurangan ini bukan mencerminkan minimnya produksi melainkan lebih karena waktu yang tidak selalu pas dengan panen.

 “Industri pengolahan udang berjalan tiap hari, kebutuhan pasokan tiap hari. Sementara panen udang tidak setiap hari. Jadi ada satu waktu udang menumpuk, di waktu lain kurang. Di saat itulah akan ada keluhan,” urainya setengah berdalih.

Belum lagi, lanjut dia, sejak 2011 terjadi peningkatan jumlah UPI sehingga kompetisi mendapatkan udang semakin ketat. “Penyebabnya, pertama udang menarik di pasaran, kedua karena ada revitalisasi udang. Jadi UPI yang dulu hanya mengolah ikan belakangan ikut melirik udang,” ujarnya.  Ia menambahkan data, dari 571 UPI yang ada saat ini 168 diantaranya mengolah udang. Meningkat dari jumlah di 2011 yang 140, dan 2012 ada sekitar 152.

Sementara angka utilitas (kapasitas terpakai) berturut-turut 2011, 2012, dan 2013 adalah 52,2 %,  60 %, dan 65 %. “Artinya 35 % idle atau mangkrak. Jadi cukup beralasan mereka mengeluhkan kekurangan bahan baku,” papar Saut.

Sumber : Majalah TROBOS Aqua Edisi-24/15 Mei 2014 - 14 Juni 2014

Tidak ada komentar: