Sabtu, 29 November 2014

Opini : Sustainable Aquaculture


Budidaya Yang Bertanggungjawab
Dalam Perspektif  Pembangunan Berkelanjutan

Oleh : Cocon, S.Pi *


Revolusi industri yang mulai muncul di negara-negara Eropa Barat telah mendorong adanya pergeseran pola pengelolaan sumber-sumber ekonomi secara besar-besaran melalui  kebijakan industrialisasi dan komersialisasi yang tak terukur. Inilah yang kemudian menjadikan manusia menjadi sentral atas dominasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau lebih dikenal dengan sikap Anthroposentris. Sikap Anthroposentris ini memicu munculnya permasalahan liingkungan global.

Tidak hanya di negara-negara Eropa Barat dampak revolusi industri juga di rasakan pada negara-negara berkembang khususnya di Asia Afrika. Eksploitasi sumberdaya alam khususnya pada negara-negara berkembang yang secara umum dilakukan oleh negara-negara maju dan nota bene sebagai kompensasi dalam upaya membiayai proses pembangunan, pada kenyataannya menuai berbagai masalah terutama dampak terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Inilah kemudian PBB mulai merubah mindset pola pengelolaan sumberdaya alam yang kemudian disepakati munculnya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).


Berbagai penelitian menyebutkan bahwa saat ini telah terjadi penurunan tapak ekologis (ecologycal footprint) yang sangat signifikan. Tahun 2012 daya dukung lingkungan untuk menopang kebutuhan hidup di Indonesia telah mencapai titik impas, dan terus menunjukan trend penurunan yang signifikan hingga saat ini. Pertumbuhan Jumlah penduduk yang pesat justru akan mendorong tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin besar, sedangkan disatu sisi ecologycal foot print yang semakin menurun. Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan besar Pemerintah saat ini ke depan.

Menurunnya daya dukung lingkungan akibat pemanfaatan sumberdaya yang eksploitatif semakin menambah suram akan jaminan masa depan generasi yang akan datang. Dalam persepektif pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan dan pemanfaatan SDA harus memberikan jaminan ketersediaan secara kualitas maupun kuantitas bagi kepentingan generasi masa depan. Intinya yang telah dilakukan dan dirasakan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan generasi yang akan datang. Prinsip inilah yang wajib menjadi dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Prinsip Budidaya yang Bertanggungjawab

Demikian halnya sub sektor perikanan budidaya sebagai bagian dari sumberdaya alam harus dipandang bukan hanya sebagai sebuah sumber ekonomi semata, namun harus dimaknai sebagai sumberdaya yang perlu dikelola secara bertanggungjjawab, karena faktanya aktivitas budidaya juga tidak terlepas dalam memberiikan kontribusi terhadap perubahan lingkungan, sama halnya dengan sektor lain sejenis seperti pertanian terutama pada aktivitas budidaya sebagai sebuah industri.

Disamping itu sub sektor perikanan budidaya juga menjadi startegis karena berpotensi besar dalam upaya menopang ketahanan pangan nasional, bukan hanya untuk generasi saat ini tapi menjamin ketersediaan bagi antar generasi. Jika pola pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya dilakukan secara  ekspolitatif, maka akan ada ketimpangan antara kebutuhan pangan yang semakin besar sementara daya dukung lingkungan menurun secara drastis, dan memunculkan sebuah sistem yang negatif, imbasnya tak ada jaminan bagi masa depan generasi selanjutnya.

Melihat dari perkembangan aktivitas budidaya selama beberapa dekade misalnya budidaya udang, kita bisa amati adanya sebuah trend yang menunjukan adanya penurunan kualitas, penyebabnya adalah pengelolaan yang tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan, dimana sikap anthroposentris masih mendominasi para pelaku usaha. Timbulnya berbagai masalah dalam budidaya terutama hama penyakit yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan serius yang mengancam dunia bisnis budidaya adalah hanya bagian kecil efek domino atas pola pengelolaan sumberdaya alam yang mengindahkan prinsip keberlanjutan. Aktivitas budidaya tidak boleh mengindahkan prinsip eco-sentris, karena dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak bisa lepas dari pengaruh sistem alamiah yang membangun sebuah ekosistem yang saling mempengaruhi. Munculnya berbagai masalah di atas tadi adalah sebagai akibat hilangnya mata rantai sistem yang pada akhirnya menyebabkan ketidak seimbangan ekosisitem yang ada. Kita juga seringkali hanya memfokuskan pada upaya - upaya penanggulangan secara terus menerus, sementara upaya preventif terhadap sumber dengan memperbaiki dan memulihkan ekosisitem seringkali diindahkan.

Para pelaku usaha juga masih terjebak pada dominasi tujuan kepentingan pada aspek bisnis, sehingga salah dalam menterjemahkan prinsip berkelanjutan. Kita seringkali memandang bahwa prinsip keberlanjutan hanya pada tataran sempit yaitu sistem usaha yang menitikberatkan pada tujuan aspek ekonomi, sehingga apapun effort yang ada  didorong dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas setinggi-tingginya, melalui rekayasa dan manipulasi lingkungan. Padahal itu pandangan yang keliru, bahwa prinsip budidaya berkelanjutan harusnya dilihat dalam perspektif pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan pada 5 (lima) dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan infrastruktur, dan kebijakan dan kelembagaan. Ke-lima dimensi inilah yang sejatinnya menjadi bahan acuan bagi pola pengelolaan budidaya yang berkelanjutan.

Mendorong Kebijakan yang Pro-Enviromental

Sebuah pepatah mengatakan “think globaly, act locally”, menurut penulis sesungguhnya pepatah ini mempunyai makna yang mendalam terhadap bagaimana pola-pola pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam prinsip lingkungan pengelolaan perikanan budidaya harus dilakukan secara bertanggungjawab. Budidaya harus juga pro aktif dalam menjamin bahwa aktivitas telah dilakukan secara berwawasan lingkungan. Perlu diketahui, seperti halnya sektor lain (industri, parawisata, pertanian), aktivitas budidaya juga memberikan kontribusi teradap efek perubahan iklim global. Penggunaan input produksi dan modernisasi teknologi, khususnya pada usaha skala industri pada kenyataannya telah memicu penggunaan energi fosil yang secara langsung berdampak pada peningkatan emisi karbon di atmosfer, disamping itu penggunaan bahan-bahan lainnya yang tidak ramah lingkungan turut menyumbangkan dampak terhadap pencemaran lingkungan.

Inilah yang pada kenyataannya belum kita sadari, padahal dalam Undang-undang baik UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, maupun UU no 45 tahun 2009 tentang perikanan jelas mengatur bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk perikanan harus mengedepankan kelestarian lingkungan hidup. Kebijakan industrialisasi maupun komersialisasi perikanan hendaknya dilakukan secara terukur dengan mempertimbangkan batasan-batasan kemampuan alam dan linngkungan hidup dalam menopang kebutuhan makluk hidup.

Dalam hal ini, ke depan sub sektor perikanan budidaya sebagai bagian dari sumberdaya alam yang strategis perlu didorong dengan menjamin implementasi pengelolaan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip di atas, ada beberapa hal yang perlu ditindaklajuti Pemerintah sebagai regulator yaitu :

Pertama, kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan potensi dan peningkatan produksi perikanan budidaya, maka Pemerintah dalam hal ini kementerian Kelautan dan Perikanan seyogyanya perlu menyusun sebuah rencana zonasi secara nasional yaitu dengan memetakan potensi kekinian dengan melakukan kajian lingkungan (aspek ekologis), aspek sosial, dan aspek ekonomi secara komprehensif pada seluruh kawasan potensial di Indonesia. Zonasi inilah yang akan dijadikan patokan dalam menetapkan target/sasaran produksi perikanan budidaya perkomoditas. Ini penting dalam upaya menjamin perikanan budidaya yang berkelanjutan dan tetap memegang prinsip tanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Sasaran peningkatan produksi tersebut hendaknya terukur dan tidak cukup dengan melihat perkembangan trend, namun harus mempertimbangkan 5 (lima) dimensi di atas yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan infrastruktur, dan kebijakan dan kelembagaan.

Kedua, Pemerintah harus segera menyusun regulasi dengan mengeluarkan produk hukum (setingkat Peraturan Menteri) yang mengatur norma hukum dalam pengelolaan budidaya yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Produk hukum tersebut harus diselaraskan dengan produk hukum yang dikeluarkan lintas sektoral lainnya sebagai bentuk sinergisitas, dalam hal ini regulasi terkait pengelolaan lingkungan hidup. Penyelarasan regulasi multisektoral menjadi penting sebagai bagian upaya menumbuhkan tanggungjawab bersama dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bertanggungjawab.  Kita harus sudah mulai merubah maindset ke hal-hal luas dan strategis jangka pangajng, dimana lingkungan merupakan aspek multidisiplin yang harus menjadi fokus perhatian pada masing-masing sektor terkait.

Produk hukum juga harus mengikat secara umum dan berlaku terus menerus dan mengatur sebuah norma yang didalamnya berisi perintah, larangan, ijin, pengecualian, pengawasan dan pengendalian termasuk didalamnya pembangian kewenangan pada pemerintah daerah, sehingga dapat dipakai sebagai innstrumen khususnya bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terutama yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan terhadap jenis usaha budidaya yang menerapkan teknologi tinggi dan berdampak besar dan penting. Penulis menilai, saat ini regulasi yang terkait perikanan budidaya masih berlaku secara sempit dan masih terfokus pada detail teknis yang masih menitikberatkan hanya pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas, sementara bentuk peran budidaya terhadap isu-isu strategis nasional seperti lingkungan hidup tidak di atur.

Ketiga, terkait regulasi perijinan usaha budidaya, akan lebih baik jika regulasi ini direvisi dengan mempertimbangkan kebutuhan kekinian. Misalnya penetapan kriteria jenis usaha, dan mekanisme/persyaratan perijinan. Regulasi terkait perijinan seyogyaanya juga mempertimbangkan regulasi lingkungan hidup (UU no 32 tahun 2009 dan turunannya). Dalam UU no 32 tahun 2009 misalnya di atur adanya kriteria jenis usaha budidaya tambak yang wajib amdal, mengatur tentang bagaimana perijinan usaha harus diilengkapi ijin lingkungan bagi usaha yang mempunyai potensi dampak penting terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Ini penting sebagai bagian bentuk tanggungjawab budidaya dalam memegang teguh prinsip pembangunan berkelaanjutan.

Keempat, KKP dalam hal Ditjen Perikanan Budidaya perlu membuat sebuah acuan/pedum yang berisi indikator terkait analisis budidaya berkelanjutan. Kita seringkali bicara budidaya berkelanjutan tapi belum mempunyai pemahaman yang sama tentang prinsip budidaya berkelanjutan. Acuan/pedum analisis budidaya berkelanjutan tersebut berpatokan pada 5 (lima) dimensi di atas, dimana masing-masing dimensi perlu ditetapkan atribut-atribut indikator yang mempengaruhinya. Ini penting sebagai bahan acuan khususnya bagi daerah dalam memperhitungkan tingkat keberlanjutan suatu pengelolaan budidaya pada kawasan tertentu.

Merujuk pada apa yang dihasilkan dalam konperensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan di Rio de Jenairo pada tahun 1992, terkait prinsip utama pembangunan berkelanjutan, maka dapat dimaknai bahwa pengelolaan perikanan budidaya harus mampu menindaklanjuti beberapa prinsip yaitu : (1) Prinsip keadilan intra dan antar generasi, prinsip ini menjamin bahwa sebuah pengelolaan perikanan budidaya harus dilakukan secara bijaksana dan tidak boleh mengorbankan masa depan generasi yang akan datang yaitu dengan memberikan jaminan ketersediaan sumberdaya baik kualitas maupun kuantitas. (2) Prinsip kehati-hatian, bahwa setiap perencanaan pengelolaan maupun aktivitas usaha budidaya harus terukur dan mengedepankan analisis resiko sebagai bentuk pencegahan dini terhadap potensi dampak yang ditimbulkan dari aktivitas usaha budidaya, sehingga tidak berdampak jangka panjang terhadap keberlanjutan sumberdaya itu sendiri. (3) Pengelolaan budidaya harus menjamin keanekaragaman hayati tetap terjaga, disamping itu peran budidaya juga cukup strategis dalam mengembalikan keanekaragaman hayati yang mulai hilang yaitu dengan mendorong penerapan bioteknologi akuakultur yang ramah lingkungann. (4) Pengelolaan industri budidaya seyogyannya juga memasukan biaya lingkungan (valuasi ekonomi lingkungan) ke dalam biaya produksi, dimana selama ini biaya lingkungan hanyalah faktor eksternal (external cost). Kedepan sudah saatnya dilakukan internalisasi biaya lingkungan kedalam proses produksi, ini penting sebagai bentuk tanggungjawa lingkungan (kompensasi jasa lingkungan).

Penyusunan kebijakan perikanan budidaya baik dalam Rencana Strategis maupun dalam RPJMN sudah harus memasukan bentuk tanggungjawab budidaya terhadap lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan beserta rencana-rencana yang bersifat konkrit.

Mulai saat ini, kita harus sudah mulai berfikir holistik betapa hubungan manusia dengan alam adalah suatu keniscayaan. Manusia adalah bagian dari sebuah sistim kompleks bukan sentral atas penguasaan alam, maka prinsip eco-developmentalism yang menempatkan alam dan manusia dalam hubungan horisontal yang sejajar harus menjadi dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya pada sumberdaya perikanan budidaya, itulah makna keberlanjutan.

Rujukan :

1.    Mas Achmad Santosa. Aktualisasi Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Dalam sistem dan Praktek Hukum Nasional. Jurnal Hukum Lingkungan. Tahun III, 1996, halaman 1 – 21.

2.    Adji Samekto. Pembangunan Berkelanjutan : Latar Belakang dan Prinsip-Prinsipnya. Modul 2 Pembelajaran Magister Ilmu Lingkungan UNDIP Semarang. Tahun 2014, halaman 33-65.




Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan,
Universitas Diponegoro Semarang

Tidak ada komentar: