Selasa, 23 Juni 2015

Opini : Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI



Menjaga Kedaulatan Laut Melalui “Prosperity Approach
(Makalah ini disampaikan pada ajang lomba penulisan esai dan feature dengan Tema “Laut Adalah Harapan dan Masa Depan Bangsa”, diselenggarakan oleh Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA) Jakarta tanggal 1 – 6 Desember 2016)

Oleh : Cocon, S.Pi, M.Si*
*Analis Perikanan Budidaya pada Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Jalan Medan Merdeka Timur No. 16 Gd. Mina Bahari IV Lantai 5 Jakarta Pusat, Mobile Phone : 081318139989//081215466460


Pola pendekatan pembangunan nasional selama lebih dari 3 (tiga) dekade yang lalu pada kenyataannya menyisakan berbagai masalah baik aspek ekonomi, sosial dan bahkan politik. Pendekatan pembangunan yang berbasis daratan (land based-development) sangat kentara menjadi fokus utama Pemerintah dikala itu dalam upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Namun faktanya pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang akan mampu menjamin kesejahteraan masyarakat itu, justru menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bersifat sentralistik. Sentralistik karena pada kenyataannya dampak pertumbuhan makro ekonomi tersebut hanya dirasakan oleh kalangan tertentu khususnya korporasi dan secara kewilayahan hanya terpusat di Pulau Jawa, dengan kata lain masih berbasis pada “Jawa Sentris”.


Kondisi di atas kemudian memicu timbulnya kesejangan ekonomi sebagai akibat dari ketidakseimbangan pemerataan pembangunan antara Jawa dengan Daerah-dearah lain di Indonesia terutama di kawasan Indonesia Bagian Timur. Padahal, kita tahu Kawasan Indonesia Bagian Timur merupakan daerah yang merupakan basis sumberdaya alam, namun ironisnya justru tidak mendapatkan nilai tambah apapun dari besarnya nilai ekonomi sumberdaya alam tersebut. Ketimpangan ekonomi inilah, kemudian justru secara politik mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya fenomena kecemburuan sosial yang memuncak dan terjadi pada wilayah-wilayah yang berbasis sumberdaya alam yang nota bene secara geografis berada pada garis depan NKRI sangat berpotensi mengancam stabilitas ekonomi, dimana secara langsung berpengaruh terhadap stabilitas politik. Akibatnya ketimpangan yang sedemikian besar juga secara tidak kita sadari ternyata berpotensi menggerus nilai-nilai nasionalisme masyarakat yang berpotensi memicu munculnya fenomena “disintegrasi” bangsa. Dilain pihak, fenomena keterbelakangan akibat ketidakadilan pemerataan ekonomi ini menjadi sasaran empuk masuknya pengaruh negara asing yang pelang-pelan seolah menawarkan harapan baru kemajuan, inilah yang kemudian patut diwaspadai.

Menariknya, konsepsi pembangunan nasional yang berorientasi pada wilayah daratan sebenarnya secara tidak langsung telah menggiring kita untuk melupakan jati diri bangsa ini yang sebenarnya. Kita seakan lupa bahwa karakteristik negara Indonesia adalah negara kepualauan (archipelago state) yang sudah barang tentu membutuhkan sentuhan khusus bagaimana mampu menjamin pemerataan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh wilayah NKRI. Padahal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa prinsip Negara Kepulauan bukanlah sebagai alat pemisah, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya, yang kemudian diimplementasikan oleh Indonesia dengan istilah Wawasan Nusantara.

Paradigma pola pendekatan pembangunan nasional berbasis maritim

Pasca orde baru, yaitu dalam era kepemimpinan presiden Gusdur, kesadaran akan pentingnya memahami Indonesia mulai muncul dengan ditandai dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Pembetukan Departemen ini menjadi titik tolak yang menggugah kesadaran segenap bangsa Indonesia bahwa penting untuk merubah cara pandang pembangunan nasional dari semula berbasis daratan (land based-development) ke arah yang berbasis maritim (ocean based-development). Konsepsi ini dipandang akan sangat efektif karena telah sesuai dengan kekhasan Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan maka penting untuk menjadikan sektor kemaritiman menjadi tumpuan utama pembangunan nasional.

Penguatan konsepsi pendekatan pembangunan nasional berbasis maritim, semakin diperkuat sejak era kabinet kerja. Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo telah mengingatkan pentingnya melihat sumberdaya maritim sebagai masa depan bangsa ke depan. Presiden menyinggung bahwa bangsa ini sejak lama justru hanya “memunggungi laut”. Penyebutan kalimat “memunggungi laut” bukan tanpa alasan, karena faktanya menunjukkan bahwa sebelumnya pengelolaan pembangunan belum melirik laut sebagai aset sumberdaya yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan bangsa. Pencanangan Indonesia sebagai poros maritim dunia, merupakan tonggak sejarah baru untuk merespon bagaimana mengembalikan kejayaan Indonesia yang kita tahu bahwa sejak berabad abad yang lalui Indonesia pernah berjaya dan disegani negara lain dengan menjadikan maritim sebagai basis kekuatan utama.

Bicara sumberdaya maritim setidaknya ada 2 (dua) nilai strategis utama yang perlu menjadi fokus perhatian kita sebagai bangsa yang besar, yaitu : Pertama, nilai strategis ekonomi. Sumberdaya maritim merupakan sumberdaya yang kompleks dimana keberadaannya erat kaitannya dengan berbagai multi-sektor mulai dari sektor perikanan, perhubungan, parawisata, dan energi dan sumberdaya mineral. Nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan sendiri menurut itungan para pakar diperkirakan mencapai US$ 171 miliar per tahun atau dengan kurs US$ 1 = Rp 9.500, setara dengan nilai Rp 1.624,50 trilyun per tahun (sumber: Institut Pertanian Bogor, 1997). Nilai perkiraan potensi ini setara dengan nilai RAPBN Indonesia tahun 2013. Ini nilai yang luar biasa besar, sebagai aset bagi pembangunan nasional. Pemanfaatan potensi nilai ekonomi maritim harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan, sehingga benar-benar mampu dirasakan baik oleh intra generasi maupun antar generasi.

Kedua, nilai strategis geopolitik. Secara geografis karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi tantangan tersendiri terutama bagaimana menjamin keutuhan NKRI, dimana sudah barang tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda, bukan hanya melalui pendekatan keamanan (security approach), namun justru implementasi poros maritim memiliki arti penting sebagai sabuk dalam menjamin kedaulatan NKRI tetap terjaga yaitu melalui pemanfaatan dan pengawasan sumberdaya maritim bagi pengembagan kawasan-kawasan terluar Indonesia.

“Prosperity Approach” sebagai senjata ampuh memperkuat kedaulatan

Keberadaan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) saat ini menjadi sangat strategis, sebagai bentuk upaya dalam mengkoordinasikan segenap kekuatan dalam menjaga kedaulatan laut. Kinerja Bakamla yang didalamnya termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam upaya memberantas praktek-praktek Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) patut diapresiasi sebagai kinerja positif dalam upaya menyelamatkan nilai ekonomi sumberdaya maritim. Penegakan hukum (law enforcement) segala bentuk pelanggaran di laut harus dilakukan secara konsisten, berkeadilan dan tidak pandang bulu sebagai bentuk pemberian efek jera bagi para pelaku kriminal. Telah menjadi rahasia umum bahwa laut saat ini menjadi akses masuk bagi praktek-praktek kriminal lainnya seperti penyelundupan manusia (human trafficking), peredaran narkoba, perdagangan senjata dan lainnya. Tentunya ini membutuhkan perhatian yang serius dari semua pihak, khususnya Bakamla sebagai pihak yang diberi tanggungjawab untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pengamanan laut.

Pertanyaannya apakah ini cukup untuk mewujudkan keamanan dan kedaulatan laut kita? Jika kita lihat, bahwa praktek-praktek ilegal dan tindakan kriminal yang terjadi di laut dan dilakukan masyarakat justru tidak sedikit yang berawal dari motif ekonomi. Lagi-lagi ketimpangan ekonomi yang dirasakan masyarakat di kawasan-kawasan terluar dan pulau-pulau kecil yang nota bene sebagai basis sumberdaya telah memicu tindakan-tindakan melanggar hukum dan mengancam disintegrasi jika tidak direspon secara berkeadilan. Penyebabnya tiada lain adalah praktek pembangunan yang bersifat sentralisitik. Ketimpangan itu sangat kentara dapat dirasakan hampir disemua willayah perbatasan NKRI. Daerah yang merupakan basis sumberdaya hanyalah dijadikan objek, dimana nilai ekonomi yang dimiliki sebagian besar digunakan hanya untuk mendorong pembangunan di wilayah-wilayah induk.

Hal lain, berkaitan dengan maraknya illegal fishing yang dilakukan warga negara asing yang melampaui batas teritorial NKRI maupun pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sebenarnya jika kita berkaca dari akar penyebab utamanya adalah bahwa kita telah lalai dalam melihat laut sebagai bagian masa depan bangsa. Lambannya optimasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki adalah dampak dari ketidakberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) terutama pada kawasan pulau terluar untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada sebagai akibat dari minimnya sarana dan prasarana alat penagkapan ikan. Kondisi ini justru faktanya telah dimanfaatkan warga negara asing untuk lebih dulu melakukan eksploitasi secara illegal. Untuk itu akan lebih tepat jika low enforcement diiringi pula oleh upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga lebih berdaya dalam melakukan pemanfaatan dan pengawasan sumberdaya yang ada. Efektifitas pengamanan laut juga tergantung bagaimana aparat mampu melibatkan masyarakat lokal, oleh karena itu penting sekali untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dengan sendirinya memunculkan kesadaran dan tanggungjawab dari mereka.

Masih ingat tragedi lepasnya dua pulau yaitu Sipadan dan Ligitan, terlepas dari lemah atau tidaknya peran diplomasi kita, namun pada kenyataannya kita kecolongan karena lalai dalam hal optimalisasi sumberdaya bagi kepentingan pembangunan wilayah, sehingga sulit mempertahankannya karena negara tetangga telah lebih dulu melakukan pemanfaatan. Belum lagi kawasan-kawasan strategis lain seperti Ambalat, Natuna dan lainnya yang harus kita jaga dan lindungi melalui upaya pembangunan yang berkeadilan. Dari foneomena di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak cukup hanya menggunakan upaya-upaya berbasis “security approach” dalam memperkuat kedaulatan negara khususnya pada kawasan-kawasan terluar. Namun ada senjata yang lebih ampuh lagi yaitu melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Pendekatan kesejahteraan setidaknya akan memberikan dampak positif, antara lain : pertama, secara ekonomi, akan memberikan dampak terhadap perkembangan dan pemerataan ekonomi pada kawasan-kawasan strategis, jika ini telah tercapai maka secara langsung akan mampu meredam potensi dampak negatif dari ancaman disintegrasi. Kedua, secara politik, pendekatan ini secara langsung akan memperkuat basis pertahanan pada kawasan terluar, artinya kasus sipadan dan ligitan tidak akan terulang kembali yang kedua kalinya. Disamping itu, pengembangan ekonomi kawasan terluar sangat efefktif untuk meng-counter pengaruh asing yang suatu saat bisa masuk.

Bagaimana “prosperity approach” ini diwujudkan? Dalam konteks ekonomi sumberdaya, seiring kebijakan pengembangan poros maritim, maka sektor kelautan dan perikanan mempunyai nilai strategis penting sebagai salah satu sumber ekonomi maritim, bukan hanya itu sektor ini juga mempunyai nilai strategis secara geopolitik. Jika didorong secara optimal, sektor kelautan dan perikanan secara ekonomi berpotensi dalam mendorong pergerakan ekonomi lokal dan daerah, sedangkan disisi lain secara geopolitik sektor ini juga berpotensi menjadi senjata ampuh dalam memperkuat NKRI khususnya pada wilayah-wilayah yang menjadi kawasan terluar dan perbatasan NKRI. Sudah menjadi rahasia umum, rasanya wilayah perbatasan NKRI nyaris sejak dulu tidak mendapat sentuhan pembangunan berarti, Pemerintah seolah terjebak dengan hanya memperkuat wilayah perbatasan melalui security approach” (pendekatan keamanan), namun mengabaikan prosperity approach.  Dalam hal ini, pengembangan usaha berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan mempunyai potensi besar sebagai alternatif prosperity approach yang efektif dalam memperkuat wilayah-wilayah perbatasan NKRI.

Di Kabupaten Minahasa Utara, bentuk kerjasama pengamanan laut patut menjadi rujukan bagi kawasan lain. Melalui program “TNI-Rakyat sentuh air” telah menciptakan sinergitas pengamanan laut antara rakyat dengan TNI secara manunggal. TNI bersama masyarakat pesisir melakukan kegiatan budidaya rumput laut sebagai unggulan daerah, dimana disatu sisi kegiatan usaha budidaya rumput laut diharapkan akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan tambahan ekonomi bagi aparat TNI, dan disisi lain program ini justru menjadi media efektif dalam upaya menjaga keamanan laut secara manunggal bersama-sama dengan rakyat. Intinya program ini telah secara langsung berorientasi pada 2 (dua) pendekatan sekaligus yaitu pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Dalam upaya mewujudkan perttumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi maritim, maka diperlukan langkah strategis dengan melakukan percepatan pengembangan kawasan terluar dan perbatasan yang memiliki nilai strategis tinggi, baik nilai strategis ekonomi maupun geopolitik. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini telah melakukan upaya percepatan pergerakan ekonomi pada kawasan terluar danperbatasan yaitu dengan menetapkan 20 (dua puluh) kawasan strategis sebagai kawasan yang menjadi fokus Program Pengembangan Sentra Kelautan dan Perikanan Secara Terpadu (PSKPT). Program ini tentunya memiliki nilai penting, yaitu : (1) secara ekonomi, diharapkan akan mennjadi embrio bagi pergerakan ekonomi wilayah dan diharapkan menjadi penghela bagi kawasan lain disekitarnya; dan (2) secara geopolitik, menjadi langkah strategis dalam upaya menjaga kedaulatan NKRI melalui pendekatan kesejahteraan “Prosperity approach”.

Tentu kita berharap program ini akan memberikan dampak positif bagi pergerakan ekonomi, lokal, regional dan nasional, dan bukan hanya itu program ini akan mampu memperkuat Indonesia secara geopolitik. Namun yang perlu menjadi catatan, bahwa pergerakan ekonomi atau pertumbuhan kawasan perbatasan akan terwujud jika pada suatu kawasan mampu dibangun secara terintegrasi, dimana rantai sistem produksi berjalan secara efektif. Kawasan terluar dan perbatasan harus diposisikan bukan hanya sebagai objek basis sumberdaya saja, tapi harus pula dibangun unsur penunjang dengan mendorong terbentuknya kawasan yang berbasis produksi.

Pengembangan kawasan terluar dan perbatasan juga tidak bisa dilakukan secara parsial, namun optimalisasi pemanfaatan sumberdaya harus dilakukan secara holistik, terintegrasi dan berkelanjutan dengan melibatkan lintas sektoral dan elemen stakeholders. Perencanaan program harus secara matang dilakukan terutama dalam melakukan pemetaan potensi sumberdaya yang berbasis unggulan daerah, pemetaan terkait potensi penunjang lainya serta pemetaan terkait skenario dan langkah antisipatif atas potensi, peluang dan tantangan dalam pengembangan wilayah terluar dan perbatasan, sehingga program benar-benar mampu berkesinambungan dan tidak hanya dirasakan pada awal periode pelaksanaan program saja.

Terlepas dari seberapa kekuatan Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia, namun yang terpenting adalah bagaimana upaya optimalisasi pemanfaatan nilai ekonomi sumberdaya kemaritiman. Ingat sejak era sentralistik sampai era desentralisasi seperti saat ini, hampir seluruh perputaran uang, sumberdaya manusia (terdidik dan terampil), dan kebutuhan logistik terkonsentrasi di pusat-pusat kota besar (industri), sementara daerah yang notabene merupakan basis sumberdaya alam hanya menjadi objek eksploitasi dan justru menjadi daerah yang seolah tidak menarik bagi masuknya investasi karena keterbatasan akses. Itulah sebabnya daerah-daerah tersebut kondisinya sangat memprihatinkan.

Program “tol laut” sebagai bagian dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia seyogyanya harus menjadi media bagi terwujudnya sebuah pemerataan pertumbuhan ekonomi bagi daerah-daerah yang menjadi basis sumberdaya. Oleh karena itu, Pemerintah saat ini mestinya juga fokus untuk menggarap potensi yang ada yaitu melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada kawasan-kawasan strategis yang berbasis pada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang menjadi unggulan/potensi daerah, dimana tol laut menjadi unsur pendukung dalam mewujudkan efesiensi melalui jaminan konektivitas dan distribusi hasil produksi unggulan daerah.

Sumberdaya alam yang dihasilkan harus diproduksi dan dirasakan nilai tambahnya oleh masyarakat lokal. Itulah sejatinya makna kekuatan ekonomi yang sebenarnya yaitu ada jaminan bagi pemerataan ekonomi yang berkeadilan di berbagai daerah tanpa terkecuali. Poros maritim harus dimulai dengan menggerakan roda perekonomian terutama pada daerah-daerah yang menjadi bagian muka negeri ini. Kita ambil contoh misalnya, Kabupaten Pulau Morotai yang tepat berada di bibir Samudera Pasifik, mempunyai nilai strategis ekonomi SD Kelautan dan Perikanan yang luar biasa besar (Perikanan, Parawisata) yang sangat potensial menjadi pintu gerbang kawasan ekonomi bagian timur karena lokasinya yang sangat strategis berbatasan langsung dengan negaranegara Pasifik. Disamping itu, secara geopolitik kawasan ini sangat strategis sebagai basis kekuatan pertahanan keamanan Indonesia.

Melalui makalah ini, harapan sangat besar penulis sampaikan agar Pemerintah fokus dalam menjaga kedaulatan laut, bukan hanya  pada upaya-upaya yang bersifat security approach, namun juga mendorong pendekatan yang berbasis pada upaya meningkatkan kesejahteran masyarakat pesisir khususnya di kawasan-kawasan terluar dan perbatasan. Melalui kerjasama sinergi antar para pihak dalam hal ini lintas sektoral terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat, maka harapan untuk mewujudkan laut sebagai masa depan bangsa dapat benar-benar terwujud.


Sumber Rujukan :

Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Kebijakan Kelautan Indonesia Buku I. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB. 2004.  Kajian Kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan.  Kerjasama BAPPENAS dan PKSPL-IPB.  Jakarta






            

Tidak ada komentar: