Senin, 09 November 2015

Isu Pakan

Direktorat Pakan, Harapan dan Tantangan


Tahun 2015 menjadi kado istimewa bagi hampir seluruh pelaku usaha perikanan budidaya di Indonesia, betapa tidak, satu permasalahan utama dalam sistem produksi yakni masalah pakan sudah mulai dijadikan fokus kebijakan pemeriintah saat ini. Perubahan struktur organiasi tata kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan terbaru telah menetapkan satu direktorat teknis (setara eselon II) yang khusus menangani “tetek bengek” masalah pakan ikan. Ini tentunya menjadi harapan baru, betapa masalah pakan sebagai pembatas utama dalam bisnis budidaya ikan sejak bertahun-tahun justru terkesan dikesampingkan.
Masih ingat rasanya beberapa rekomendasi dari berbagai pihak, salah satunya dari Abilindo (Asosiasi Budidaya Laut Indonesia) yang berkali-kali bahkan hampir disetiap kesempatan selalu memberikan usulan bagi terbentuknya direktorat pakan. Tak bisa dipungkiri memang, karena pakan menjadi input produksi utama dalam sistem produksi perikanan budidaya. Tingkat keberhasilan proses produksi budidaya, hingga itung-itungan bisnis tidak bisa dilepaskan dari faktor pakan yang memberikan share terhadap cost produksi lebih dari 60% ini.
Direktorat Pakan ibarat bayi yang baru lahir tentunya membutuhkan suatu perencanaan tata kelola yang diharapkan akan mampu menjawab berbagai tantangan dan persoalan yang menumpuk didepan mata. Hampir semuanya tahu permasalahan terkait pakan saat ini, ya bisa dibilang complicated!. Bukan saja masalah teknis tapi juga massalah non teknis, dan sudah barang tentu akan menjadi tugas berat bagi direktorat pakan kedepan. Dari sisi peran sebagai regulator, pemerintah melalui Direktorat ini harus mampu menjamin bagaimana sistem tata kelola pakan menjadi efektif, termasuk didalamnya bertanggungjawab dalam perumusan kebijakan dan standar, riset dan perekayasaan, pengawasan mutu, manajemen sistem logistik, stabilitas harga, jaminan ketersediaan bahan baku, dan fasilitasi penggembangan industri pakan nasional. Kesemuannya itu tentunya mengerucut pada satu tujuan utama yaitu “efesiensi”, dimana pada akhirnya akan menentukan tingkat daya saing perikanan budidaya nasional khususnya pada usaha-usaha skala kecil. Terlebih dalam hitungan bulan, kita sudah dihadapkan pada pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana tantangan utama yang menjadi kelemahan kita adalah pada faktor daya saing yang disebabkan tingkat efesiensi rendah (high cost).
Direktorat pakan sebagai direktorat teknis yang baru dengan seabrek tantangan sudah seharusnya bergerak cepat untuk menyusun sebuah rencana strategis baik jangka pendek,  maupun jangka menengah. Upaya yang perlu segera dilakukan adalah segera menyusun sebuah road map sekaligus action plan yang bersifat strategis dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. Roadmap dan actionplan merupakan penjabaran dari tupoksi yang ada, dimana didalamnya paling tidak memuat hal-hal pokok strategis yg harus segera dilakukan, meliputi (1) pedoman, norma dan standar; (2) riset dan perekayasaan yang fokus pada peningkatan efesiensi, mutu dan pengendalian dampak lingkungan; (3) pengawasan; (4) sistem tata niaga dan logistik; (5) ketersediaan bahan baku; (6) fasilitasi pengembangan industri pakan dan kemitraan; (7) kontrol dan pengendalian harga; dan (8) pegembangan sumberdaya manusia.
Terkait peran riset dan perekayasaan, rasanya ada yang kurang yaitu alangkah  efektifnya jika keberadaan direktorat pakan, kemudian dibarengi dengan terbentuknya unit pelaksana teknis (UPT) yang khusus fokus pada upaya perekayasaan pakan, mulai dari bahan baku, formulasi dan hal lain dalam upaya meningkatkan efesiensi pakan. Tidak dapat dipungkiri jika Ditjen Perikanan Budidaya memiliki stok ahli nutrisi yang kompeten, dimana lewat peran mereka berbagai permasalahan terkait efesiensi pakan telah mulai terpecahkan, salah satunya apa yang dilakukan para ahli nutrisi di BBPBAP Jepara yang berhasil menemukan formulasi enzim yang secara nyata mampu meningkatkan  efesiensi pakan pada penggunaan pakan berprotein rendah, sehingga secara langsung pembudidaya mendapatkan margin keuntungan yang lebih baik. Hal ini tentunya perlu menjadi catatan penting agar kedepan ada upaya untuk lebih memberikan porsi yang lebih besar bagi peran perekayasaan. Yang lebih penting lagi kedepan hasil-hasil perekayasaan yang telah teruji harus mampu diterapkan secara massal, salah satunya melalui fasilitasi kemitraan pengembangan dengan pihak industri pakan, sehingga harga pakan akan mampu terjangkau khususnya bagi pembudidaya skala kecil.

Pengembangan pakan mandiri melalui program “Gerpari” disatu sisi perlu terus didorong, namun disisi lain program ini tentunya harus diimbangi dengan perencanaan yang matang mulai dari jaminan ketersediaan bahan baku yang tepat jumlah dan kualitas; sarana dan prasarana pendukung yang memadai; teknologi formulasi; penguatan manajemen usaha; dan kapasitas sumberdaya pengelola. Hal ini penting agar masalah in-efesiensi yang selama ini seringkali terjadi dalam pengelolaan pakan mandiri dapat dihindari.
Kesimpulan dari semuanya adalah bahwa bicara masalah pakan tidak bisa dilakukan hanya dalam konteks parsial tapi merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan secara komprehensif. Terlebih saat ini isu pakan sudah mulai mengarah pada isu-isu sustainability, dan food security. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Divisi Pakan Ikan GPMT Denny D. Indradjaja yang mengatakan bahwa impor tepung ikan akan sulit dihindari selama bahan baku tepung ikan lokal belum mendapat sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil). Sertifikasi IFFO merupakan sebuah bentuk legalitas terkait tanggungjjjawab lingkungan. (sumber : bisnis.com). Oleh karena itu, isu-isu global terkait sustainabillty dan food security hendaknya patut menjadi catatan dalam setiap implementasi kebijakan pengembangan pakan nasional khususnya terkait sumber bahan baku pakan. Direktorat pakan juga harus segera memetakan spot-spot ketersediaan bahan baku pakan yang sustain, bermutu baik, kontinyu dan dalam jumlah yang cukup. Kenyataannya di satu sisi beberapa daerah penghasil tepung ikan justru memilih untuk mengekspornya karena harga dalam negeri dinilai kurang kompetitif, namun disisi lain industri pakan cenderung memilih impor bahan baku karena dinilai lebih efisien. Kenapa bisa terjadi? dan kenapa di negara ekportir lain bahan baku lebih efisien? Kedua pertanyaan ini tentunya harus mampu dijawab dan dicarikan solusi oleh direktorat baru ini, jika ingin mewujudkan kemandirian pakan nasional.


Cocon, S.Pi

Analis Perikanan Budidaya

Tidak ada komentar: